Berdasarkan suatu artikel yang gue baca di sebuah website bisnis, ada lima pertanyaan esensial yang perlu ditanyakan ke diri kita sendiri sebagai bentuk refleksi atas apa saja yang udah kita lalui hampir 10 tahun terakhir ini. Gue sendiri belum sempat menanyakan semua hal ini ke diri gue, hanya beberapa. So, I decided to answer it here as the first blog post of 2020.
What were three to four highs and three to four lows?
Mari mulai dengan momen terburuk. Salah satunya saat dikhianatin sama orang yang gue sangat sayangi saat itu. Sensasinya aneh. Belum pernah gue merasakan dihinggapi seabrek emosi-emosi negatif sekaligus. Marah, bingung, kecewa, jijik, sakit. Semua campur aduk jadi satu. Nggak tau gimana cara merespon itu semua, alhasil gue ambil pisau dan menyayat tangan. Berlebihan kalau dipikir-pikir. But I was in the heat of a moment. I was furious. It was too painful to handle.
Selanjutnya adalah kuliah. Di satu sisi gue belajar banyak hal di dalam institusi pendidikan ini, di sisi lain institusi ini memberi gue trauma mendalam yang masih gue miliki sampe sekarang. Di akhir perjalanan gue dapat gelar, tapi entah kenapa selama proses mendapatkan gelar tersebut gue mengacuhkan kesehatan mental gue yang juga penting, seakan-akan gue nggak mampu untuk menjaga keduanya.
Terakhir adalah tahun lalu ketika gue di-bully habis-habisan di internet. Mind you, gue sering diselepet netizen. Entah diselepet sekadarnya, dilecehkan, diajak berhubungan seksual, disebut wanita jalang, disuruh murtad, dan lain sebagainya. Tapi yang paling menyakitkan adalah ketika lo tanpa henti, oleh ribuan orang, dicemoh sesuatu yang bukan diri lo. Ketika lo tau siapa diri lo, tapi ada ribuan orang yang nggak kenal lo menyebut diri lo A sampai Z bahkan mengajak orang lain untuk berprasangka buruk terhadap lo dan membenci diri lo. Efeknya? Gue takut keluar rumah ketika gue pulang ke Indonesia. Gue takut dan malu bertatapan muka dengan orang lain. Gue selalu dihantui prasangka bahwa orang yang gue temui ini tau akan kasus gue dirundung di internet berhari-hari. Gue berharap bisa tenggelam ditelan bumi dan menghapus memori orang-orang tentang gue. Sama seperti kuliah, kejadian ini masih fresh di otak gue. Masih bikin trauma, masih ngasih trigger.
Hidup nggak melulu di bawah. Ada banyak hal menyenangkan yang gue alami 10 tahun belakangan ini, yang bikin gue sulit untuk mempertimbangkan mana yang lebih baik dari yang lainnya. Gue tau ini #naon banget, tapi nge-YouTube adalah salah satu hal terbaik yang gue lakukan. Buat sebagian orang bikin video itu pekerjaan receh dan nggak jelas. Emang betul sih. The idea of making money by recording yourself and put it on the internet is absurd. But here we are. Everything is possible in this day and age. Tapi buat gue, nge-YouTube membuat gue keluar dari pattern dan kejelasan. Jika ingin sesuai pattern, gue seharusnya langsung bekerja di perusahaan Kimia setelah gue lulus atau bahkan melanjutkan S2. But I was like, “Screw pattern.”.
Selain itu jadi kreator itu terlalu aneh, nggak aman secara finansial, dan tidak seperti “bekerja” yang selama ini kita tau, yang malah menjadi tanda bahwa gue sudah percaya pada diri gue sendiri untuk menjadikan hal aneh tersebut sebagai profesi. I trust myself so much that I know I will not let my own self down. I trust myself so much that I know I can do it. I trust myself so much that I will be a perfect leader of my own life, making my own path, going through my own journey.
Ketemu Paul–so far–adalah momen di dekade ini yang patut diapresiasi. I am not gonna talk about love because I don’t like to talk about those things. Gue bersyukur karena udah dipertemukan oleh seseorang yang memberi ruang gerak seluas-luasnya kepada gue. Paul nggak pernah menuntut ini dan itu, nggak pernah juga memaksa gue untuk mengubah diri menjadi seseorang yang bukan gue. Dia juga nggak pernah menuntut gue untuk melakukan sesuatu yang absurd yang bisa bikin gue jadi ilfeel atau semacamnya. Gue nggak harus khawatir dia menganggap gue terlalu galak, terlalu sensitif, terlalu agresif, terlalu keras kepala, terlalu nyolot, terlalu keras, terlalu tegas, atau terlalu-terlalu lainnya. Simply because he never thinks I am too much. He thinks I am enough. Sisi plus lainnya? Dia juga nggak mau punya anak. Yeay!
Last high moment of the decade would be rediscovering my faith. Bukan agama per se, tapi lebih ke keyakinan dan spiritualitas. Dulu gue adalah muslim yang mindless. Beragama hanya karena keturunan, nggak banyak nanya soal alasan kenapa ada anjuran ini dan larangan itu, bahkan nggak bertanya kenapa gue harus sholat lima kali sehari. Gue juga nggak eksplorasi spiritualitas gue sendiri dan agama lain di luar Islam yang kiranya jadi medium untuk gue berhubungan dengan Tuhan. Ketika gue pindah ke Jerman dan mulai hidup sendiri, untuk pertama kalinya gue nggak ditemani sama orang tua gue yang biasanya menuntun gue kemanapun. Pertama kalinya gue harus bergantung pada diri sendiri di tengah-tengah masyarakat yang nggak familiar. Lambat laun gue meremehkan agama gue. Nggak cuma soal ritual, tapi soal pengertian pun gue acuhkan.
It all changed when I met Paul for the first time. Itu pertama kalinya gue pacaran beneran dengan orang yang beda adama. Diskusi antar agama menjadi sesuatu yang rutin kami lakukan. Untuk pertama kalinya gue sadar bahwa gue nggak pernah mempertanyakan diri gue tentang eksistensi gue di dunia dan peran gue sebagai manusia. Bahkan gue nggak pernah nanya kenapa gue masih memeluk Islam sampai sekarang. Karena gue memang merasa Islam agama buat gue kah? Atau hanya karena gue nggak pernah terpikir untuk nyoba yang lain atau bahkan nggak memeluk apa-apa karena menjadi kafir atau nggak beragama itu dosa besar di agama gue? Atau karena gue terlalu nyaman? Selain itu di situ lah gue sadar bahwa gue nggak tau apa-apa soal agama gue. Rasanya kayak ketampar. Karena gue baru sadar kalau gue itu goblok, dungu, kayak domba yang cuma ngikut gembalanya, yang nggak pernah bertanya mau kemana, mau gimana, dan mau ngapain.
What enabler or motivated you to reach those highs, and how did you successfully move through the lows?
Nge-YouTube, memulai hubungan dengan Paul, dan menemukan kembali keyakinan gue memiliki satu kesamaan. Itu semua sama-sama menakutkan. Nge-YouTube itu menakutkan karena, seperti yang gue bilang, hal tersebut terlalu absurd. Profesi nggak jelas apalagi di mata baby boomer dan generasi X. Profesi yang rentan cemohan karena nggak bergengsi kayak dokter, insinyur, atau bahkan tentara. Tidak hanya minim gengsi, menjadi kreator juga membuat kita bisa diceng-cengin sama orang seumuran karena dianggap sok ngartis dan sok ngeksis.
Memulai hubungan dengan Paul juga menakutkan karena sebagai orang yang datang dari keluarga Muslim, yang seumur hidupnya selalu diwanti-wanti untuk jangan pacaran, let alone pacaran sama orang non Muslim, berhubungan dengan seseorang yang beda provider itu terlalu asing. Yang biasanya gue selalu dikelilingi oleh segala kefamiliaran dari segi nama, background keluarga, budaya, dan cara menyembah Tuhan (obviously), kali ini gue harus menghadapi Paulus Andreas Partohap, si orang Batak yang adalah seorang worship leader di salah satu komunitas gereja Kristen terbesar di Indonesia, yang keluarganya Kristen taat.
Gue nggak perlu menjelaskan ketakutan yang gue hadapi ketika gue pertama kali mendapatkan fakta bahwa gue manusia seperti domba dalam beragama dan mempertanyakan hal-hal yang harusnya udah gue tanyakan dari gue menginjak umur 18 tahun.
Rasa takut itu menyeramkan. Yha… Namanya juga “takut”. Tapi rasa itu adalah tanda bahwa kita harus functioning sebagai manusia seutuhnya. Kita nggak akan belajar apa-apa kalau kita nggak menemukan rasa takut. Kita nggak akan membuat progres kalau kita nggak merasakan ketakutan. Rasa takut, whether you like it or not, membantu kita untuk mengerti kehidupan dan diri kita lebih dalam.
Sementara rasa takut yang gue alami ketika gue dikhianatin orang yang gue sayangi, ketika gue kuliah menghadapi sesuatu yang “nggak gue banget” dan ancaman drop out karena gue orang asing, dan ketika gue di-bully ribuan orang sampe gue nangis-nangis satu minggu, beda dengan rasa takut yang barusan gue paparkan. Rasa takut ini jauh lebih menyeramkan. Nggak bikin gue jadi dapet adreline rush. Nggak bikin gue jadi addicted dan termotivasi untuk ngerasain hal itu lagi, lagi, dan lagi. Gue bahkan nggak mau lagi merasakannya. Rasanya tuh pingin gue remes-remes, gue sobek-sobek, gue bakar, dan abunya gue tebar ke Samudra Atlantik.
Sampai sekarang gue belum pulih dari ketakutan tersebut. Gue juga bukan orang yang percaya bahwa waktu akan membantu gue untuk melupakan atau bahkan menyembuhkan. Gue nggak akan pernah lupa gimana suramnya. Tapi yang bikin nyesek adalah gue nggak tau cara supaya gue bisa sembuh dari itu semua. Iya, gue harus ke therapist lagi sih kayaknya.
What worked and didn’t work? What do you need to do more and less of?
Buat hal-hal yang nge-trigger gue, gue harus bisa lebih legowo. Gue orangnya serius dan sensitif banget, tapi ada hal-hal yang harusnya bisa gue nggak seriusin dan nggak terlalu bawa ke hati. Gue juga harus lebih berani untuk jujur ke diri sendiri, lebih sering ngajak ngomong diri sendiri, dan mengungkapkan isi kepala gue ke lawan bicara. Karena inti dari segala kesalahpahaman itu miskomunikasi. Untuk mencegah itu semua, I would do my part by transferring everything I have in mind. Blak-blakan… Just put it out there.
What stressed you out the most and how could you navigate it better?
The fact that I had to depend on other people. Contohnya adalah tahun 2019 gue kesel banget karena gue harus bergantung sama Paul untuk dapetin visa keluarga di Jerman. Ternyata Paul juga nggak bisa diandalkan karena statusnya yang masih mahasiswa. Gue nggak tau gimana caranya supaya gue nggak stress ketika gue harus bergantung pada orang lain. Kayaknya gue juga nggak akan berhenti stress. Maka dari itu solusinya adalah gue harus bisa ngerjain semuanya sendirian. Di dalam kasus visa, gue memutuskan tahun ini untuk cari kerja kantoran. Tahan-tahanin selama dua tahun sampai gue dapet permanent residence. Kemungkinan gue akan stress stuck di rutinitas 9 to 5, tapi paling nggak setelah itu gue nggak usah pusing lagi urusan izin tinggal.
What were you most grateful for in 2019, and how can you take that into 2020?
Ada beberapa hal yang gue sangat syukuri, nggak cuma di tahun ini tapi ini berlaku untuk tahun sebelum dan sesudahnya. Pertama, seblengseknya apapun gue, seekstrim apapun gue, tetap akan ada orang yang bisa lihat niat baik yang gue punya dan itu lebih dari cukup. This is me being thankful and appreciative to those who have supported me thus far. Keluarga gue, Paul, sahabat-sahabat gue, dan strangers di internet yang mau menerima gue apa adanya Yang selalu menemani gue dalam perjalanan gue menjadi manusia terbaik yang gue bisa, tanpa banyak menuntut apa-apa. Tapi cukup jadi penonton, ttulus mendukung, dan memiliki keyakinan besar bahwa gue pasti bisa.
Kedua, gue bersyukur atas diri gue sendiri yang udah bertahan selama ini. Hidup itu suka aneh, nggak jelas, kelam, bikin jantung rasanya naik-turun. Manusia juga nggak selamanya baik. Yang jahat banyak. Yang nggak tau diri banyak. Yang setega itu menginjak-nginjak kepala dan ngeludahin juga sayangnya banyak. Tapi gue tetap mau hidup sampe sekarang. Kadang suka nggak mau sih. Tapi paling enggak di saat keinginan untuk bertahan itu kurang, gue selalu menemukan alasan untuk bangkit. Walaupun saat bangkit, nggak selalu gue lantas berdiri tegak. Seringkali gue juga rebahan, kadang sambil jongkok, kadang duduk. Tapi paling nggak mata gue tetap terbuka dan gue maju pelan-pelan.
Teruntuk kalian yang juga berhasil bertahan hingga sekarang, gue harap kalian terus menemukan kekuatan untuk terus jalan di dalam diri kalian. Gue harap kalian nggak bosen dilempar kotoran, terselengkat batu, didera badai dan hujan. You are a fighter. You are awesome. You are 100% that bitch. Don’t let other people say otherwise.
51 Comments
Siti Maria
January 1, 2020 at 5:22 pmThank you !!!
Siti Maria
January 1, 2020 at 5:22 pmThank you so much !!!
Eca agustin
January 2, 2020 at 11:13 amThank you to always spread love and positivity kak git love you so much???
Debby Liyani Ra'ad
January 2, 2020 at 7:57 pmPenyemangatku diawal tahun, thanks ya kak gita❤
Wira
January 3, 2020 at 4:22 amMakasih Kak, aku seolah bisa merasakan hal yg sama; Ketakutan dan kecemasannya terutama. Bedanya aku gak ngerti rasanya jadi influencer dan dicemooh netizen hehe. Dan btw baca ini, aku ngikut jadi refleksi 10 tahun terakhirku. jadi banyak merenung, dan banyak bersyukur juga.
Anggreawan
January 3, 2020 at 8:36 amThanks for your enlightening words ka Devi 🙂
shelgest
January 3, 2020 at 3:45 pmKeren kakak, suka dengan kalimat ini
“rasa takut, whether you like or not, membantu kita untuk mengerti kehidupan dan diri kita lebih dalam”
Riska
January 3, 2020 at 4:05 pmMakasih kak gita untuk sharing cerita dan kata kata posotif di awal tahun 2020. Semangat terus kak gita:)
Amedysa Dewi R.
January 5, 2020 at 9:07 amPengen sending virtual hug buat Kak Git! Sejak akhir 2016 atau awal 2017 nemu channel yt-nya, aku kira channel kakak sama kaya yang lain, tapi ternyata channel kakak beda (ada segmen beropini gitu-gitu). Aku seneng kalo kakak lagi beropini, cara ngomongnya bikin otak ikut mikir, kaya berasa nambah pinter. Dulu genre channel kaya kakak belum terlalu bnyk di indo, mungkin skrg mulai bnyk kali ya. Awal-awal gatau karakter kakak, cuma asumsi dan ekspektasi sendiri aja, dan untuk beberapa hal selama ngikutin kakak di dunia maya, kadang emang suka ga sependapat dan dulu tuh aku kaya suka kesel sendiri, tapi makin lama makin sadar, kalo tiap orang pasti punya pemikiran sendiri, beda otak, beda pemikiran, beda perspektif itu hal wajar. Pada akhirnya aku jadi belajar lebih open minded, lebih mau dengerin pendapat orang, kalo misal ga sependapat sama orang, at least jadi mau dengerin dulu perspektif orang itu gimana walaupun misal ujungnya aku tetep ga sependapat sama orang itu atau gimana, tapi jadi nambah referensi lain. Dari kakak aku juga belajar kalo dunia ga melulu cuma hitam dan putih. Dunia itu bukan perkara lomba-lombaan, dan bagusnya fokus sama diri sendiri. Terima kasih sudah menginspirasi, dan alhamdulillah aku juga insya Allah tumbuh jadi manusia yg lebih baik. ??❤️
Dewi
January 5, 2020 at 10:03 amThank you kak Gita for sharing this!
Devi
January 5, 2020 at 10:30 amThank you kak git ❤️
ara
January 6, 2020 at 8:36 amThank you gita for always being you 🙂
Iim
January 6, 2020 at 10:40 amYou are so amazing,, i like this writeso much. Thanks for positif things
Nina Fitriana
January 7, 2020 at 12:10 pmThank you for the motivation, kak Git! Benar-benar membuka pikiranku disaat lagi super kalut begini
WENNI MASRUROH
January 10, 2020 at 12:53 amBanyak hal yang dapat ku lihat karyamu entah dari nge-YouTube, Rentang Kisah, ataupun blog. Tidak bosen pula untuk melihatnya, i waiting untuk next story ya 🙂
estintn.a
January 11, 2020 at 3:53 pmKak gitaa kenpaa kok pengen enggak punyaa anak?
adelia damayanti
January 13, 2020 at 2:01 amalways my role model?
Hilma
January 13, 2020 at 4:28 amWow.. thank you for always spreading love and have the tiniest reason to live your life. Semangat terus Kak Gitaaaa.
hazanad
January 13, 2020 at 4:44 pmlove you kak git<333333
Edly emil
January 13, 2020 at 4:59 pmSuka banget sm ka gita, kisah hidupnya hampir sama dengan apa yg gue rasain sekarang, thanku banget udh jd motivator muda terbaik.
Love you,
Aulia Arafah
January 14, 2020 at 6:37 ambanyak banget hal baru yg bisa gw pelajarin dari baca and dengerin kata kata lu kak, ngebuat gw jadi berpikir banyak, so big tks and sukses kak?
Hartuti
January 19, 2020 at 6:50 amDari bacaan ini hampir aku suka semua. Thnx git.. ini buat w mikir jg 10tahun ini w uda ngelakuin apa aja. Apa lebih banyak mudhorotnya atau sebalinya.
Tapi ada satu pertanyaan di hati nih git.. about “anak” kenapa..? Padahal w pengen banget liat transformasi lo sebagai ibu yang tinggal d luar Indonesia
Tasya Salsabilah
January 19, 2020 at 7:26 amKak Git, thankyou for always spreading sesuatu hal yang sangat relate dengan gue. Terutama untuk hidup gue dan dalam hal survive. Gue sangat tau menjalani hidup ngga semudah kita membalikan telapak tangan–pasti ada aja orang-orang yang ngga bisa terima sama langkah kita. Jujur, sepanjang gue baca tulisan ini, gue cuma bisa respon “Sama banget, oh iya bener, iya bener banget”. Semoga Kak Git dan Kak Paul sehat selalu dan terus bisa bermanfaat buat banyak orang.
Suci Amalia
January 21, 2020 at 3:09 amTetimakasih kak git?
chindy febria
January 23, 2020 at 2:05 pmI love u 30000 gittt ♥️♥️♥️♥️♥️
DITA AMANDA
January 23, 2020 at 5:07 pmSemangat terus, Kak. Saya sangat menikmati semua karya yg sudah Kak Gita buat dalam 4 tahun ini. Sehat selalu. GBU.
Harmina
January 24, 2020 at 11:13 amHalo kak git, saya selalu suka tulisan kakak. Bermanfaat kak untuk saya pribadi:))
Zaki
January 25, 2020 at 1:42 amSemangat git. Kita sama, banyak dilempar kotoran.
Clara
January 26, 2020 at 1:29 pmThanks kak Gita,
Hidup ya gini dan bagaimana pun jalannya harus tetep lanjut..
siskanin
January 31, 2020 at 8:07 amTerima kasih Kak Gita, aku bersyukur banget bisa tau kamu kak. Kamu banyak ngajarin aku buat jadi manusia yang lebih baik lagi. Jadi manusia yang selalu ingat untuk bersyukur apapun itu. Mungkin sekitar tahun 2016 atau 2017 ya awal mula aku nonton Kak Gita di Youtube. Video pertama yang ku tonton adalah waktu Kak Git ketemu sama artis Kpop aku lupa siapa artisnya, tp dari situ aku nggak berhenti nontonin video kamu kak.
Sekali lagi terima kasih kak atas karya dan semua pelajaran hidupnya.
Sindi Lestari
February 1, 2020 at 12:58 amIni kayak mewakili sebuah jawaban yang gue cari selama ini. Gimana rasa takut selalu exist dalam hidup, gimana gue harus bersikap, gimana hidup itu ada di bawah dan di atas, gimana masa-masa buruk itu datang, and something like that. Life must go on.
Tulisan lo, bahkan semua video lo adalah salah satu hal yang bikin gue mikir tentang banyak hal dalam hidup yang nggak sama sekali gue kira sebelumnya. Gue bangga dan akan selalu support lo Kak. Makasih udah menginspirasi banyak orang, especially gue. Gue berharap lo terus jadi Gita Savitri Devi yang selama ini gue lihat di video, and of course, jadi diri lo sendiri.
Berlian
February 1, 2020 at 5:07 pmBtw thank you kak udah nulis ini, jadi ikutan refleksi diri 10 tahun terakhir. Baca ini pas lagi ngerasa takut banget sama masa depan. Semangat selalu ya, jangan bosan untuk berbagi dan memberikan pengaruh baik buat orang sekitarmu ❤
ANGGA WULAN SARI
February 3, 2020 at 8:25 amHug you from jkt?
nurmilia kadimin marto
February 14, 2020 at 7:46 ami love you so much kak gi
REFFA
March 7, 2020 at 4:57 pmMakasih kak git untuk refleksi nya. At the end of the story aku senyum-senyum baca kalimat pengutanya 🙂
Aura
March 12, 2020 at 3:54 pmThanks ka git, gue ngikutin Lo dari tahun 2018 dan selama itu juga entah gatau knp gue lebih bisa kenal diri gue. Agak lebay sih, tpi kaya relatable aja. Lo yg bikin gue semangat lg saat surem. Gue jg jd bisa open mind dan berani speakup gara2 kata2 Lo di yutup. Gue yg pendiem dan sukanya mendem ternyata bisa juga, thanks git..
Litta Lotti
March 27, 2020 at 2:59 amSelalu dapet ‘Hal Baru’ dari setiap pemikiran Gita.. Beruntung gue tau lo git.
Zara Agustina
March 27, 2020 at 8:23 amyou change so much, ka git. i know life will give you something better. i know you are strong and kind. thank you for sharing this! stay rock, ka git!
al
March 29, 2020 at 5:32 amcool
prasasti
March 30, 2020 at 4:10 amterima kasih banyak kak gita
LathifaZP
April 1, 2020 at 5:54 amperempuan unik dan berani. thanks kak git
Tika
April 7, 2020 at 6:29 pmGila, kok aku nangis baca akhir cerita ini ?
Nicesya Mariska
April 11, 2020 at 6:40 pmThank you kak Git ?
Aku ada di posisi sama kayak kakak, hampir low up nya kakak itu sama kayak apa yang aku alamin. Setelah baca tulisan kakak ini bikin aku sadar banyak hal yang harus aku syukurin.
Selama ini aku cuma menatap apa yang aku temuin di depan hanya suatu cobaan yang harus aku sesali. Tanpa aku sadari sebenernya itu adalah salah satu up nya aku dari Tuhan. Always inspiring me kak Git, sukses dan sehat selalu ya disana sama kak Paul 🙂
wulan
April 17, 2020 at 5:55 pmthanks kak Git
Lailatul Azizah
June 2, 2020 at 3:09 pmTerima kasih kak Gita
Shafa Khumaira
June 12, 2020 at 9:37 amKak Gita, u’re incredibly awesome!!!
Helenevy
July 6, 2020 at 3:49 amMakasih Kak Gita, semoga tambah sukses dan terus buat blog yaa??
zona
March 12, 2021 at 4:38 amgue nangis bacanya ahaha. thanks kak gitttt
muizah Afs
June 4, 2021 at 9:42 ammakasih ka git ,
Danis
August 30, 2021 at 8:49 pmThank youu, Kak Git. Tulisan kak Gita selalu genuinely dan enaak dibaca, serta pastinya insightful. Pasti akan selalu dapet hal baru setelah baca.
*sending hug from Jogja*
Alifah
June 15, 2022 at 4:50 amHalo! Thank you Kak Gita for sharing your opinion. Untuk teman-teman yang sudah nonton video Kak Gita yang Eps. Beropini, dan pernah baca tulisan blognya di ‘A Cup of Tea’ terutama video dan blog yang dibuat di tahun 2019-2022. Aku mau minta tolong dan minta waktu teman-teman untuk isi kuesioner tugas akhir aku.
https://forms.gle/DtAoXLLLzhn51AWD8
Terima kasih sebelumnya! Have a nice day!